KOKUHAKU A.K.A CONFESSIONS (Tetsuya Nakashima, 2010)
Film yang akan saya review kali ini adalah sebuah film berkualitas dari Jepang. Sebelumnya, saya baru sekali terkesan dengan film Jepang. Film itu adalah Okuribito A.K.A Departures (Yojiro Takita, 2008). Alasan saya melihatnya memang karena itu adalah pemenang Academy Awards 2009 for best foreign language film. Jika ada waktu, saya akan membahasnya di sini. Nah, jika Anda lebih berpengalaman dalam menonton film Jepang yang bagus (selain 2 judul ini), let me know yah.
Kembali ke topik, film Confessions ini adalah film thriller yang berbeda dari biasanya. Jika anda melihat genre thriller sebagai film dengan adegan penuh pembunuhan, pembantaian, dan kejar-kejaran yang menegangkan dan menakutkan, tidak dengan film ini. Memang ada beberapa adegan pembunuhan, tapi itu semua ditampilkan dengan cara yang sangat slow, elegan, indah, namun sangat mengerikan. Penasaran?? Well, I’ll tell you now (but not everything;).
Film dibuka dengan setting sebuah kelas SMP yang berisi murid-murid yang sedang ramai. Beberapa sedang saling bercanda, ada yang fokus ke ponselnya, ada yang senang menjahili temannya, dan lain sebagainya. Saat itu bertepatan dengan adanya promosi susu produk nasional. Para murid pun dengan asyiknya meminum susu itu hingga habis. Dan datanglah seorang guru wanita bernama Yuko Moriguchi (diperankan dengan nyaris sempurna oleh Takako Matsu) untuk jadwal mengajar rutinnya. Para murid seakan-akan tidak menganggap bahwa gurunya itu sudah berada di hadapannya. Mereka sangat cuek dan malah tetap asyik dengan kesibukannya masing-masing. Meski demikian, Yuko tidak menampakkan raut wajah yang marah. Ia tetap tenang dan dingin.
Ia pun mulai berbicara. Suaranya yang lembut dan tidak begitu nyaring berhadapan dengan puluhan suara ramai sang murid. Ia mengatakan bahwa ia telah menyita beberapa video porno milik siswanya beserta kepingan kopiannya. Hanya beberapa siswa yang merasa melaukannya mulai menunjukkan perhatiannya, lainnya masih sama. Lalu ia juga meminta maaf pada beberapa siswanya kalau ia tidak sempat membalas email yang telah dikirimkan padanya.
Ia mulai bercerita bahwa ada seorang murid perempuan dalam kelasnya yang mengancam untuk bunuh diri karena cintanya yang ditolak, namun guru itu hanya meresponnya dingin. Ia tidak percaya akan perkataan muridnya. Bukan karena ia guru yang buruk yang tidak mempercayai muridnya sendiri, tapi lebih karena ia begitu mengenal muridnya yang terbiasa berbohong.
Guru itu terus berbicara sambil berjalan mengelilingi bangku murid-muridnya. Ia berkata bahwa ini adalah bulan terakhir ia akan mengajar. Dan pelajaran terakhir yang akan ia ajarkan adalah tentang (sambil menulis huruf kanji dengan kapur di papan tulis yang artinya) HIDUP. Bukan hanya karena ia ingin supaya para murid tidak dengan mudahnya mengatakan bahwa “saya ingin mati”, tapi ini lebih dari itu.
Ia mulai bercerita. Para murid ada yang mendengarkan, namun sebagian masih ramai sendiri. Ia mengisahkan bahwa dirinya adalah seorang ibu tunggal dari anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun, Manami. Ia memiliki anak itu sebelum menikah. Ayah dari putrinya itu adalah seorang guru seni yang cukup dikaguminya. Dan belakangan ini ia baru tahu bahwa pria itu mengidap HIV positif.
Setelah mendengar kata itu, tiba-tiba suasana kelas menjadi hening. Para murid saling berpandangan. Penasaran dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Ada diantara mereka yang sampai menahan nafas sambil menutup hidungnya. Dengan penuh kasih sayang, Yuko menjelaskan bahwa virus ini tidak menular melalui saluran pernafasan sehingga muridnya itu tidak perlu menahan nafas.
Setelah menjalani beberapa tes, Yuko dinyatakan tidak terinfeksi vrus tersebut, begitu pula anaknya. Ia mengambil keputusan untuk tidak menikahi pria itu. Ia tidak ingin kelak anaknya akan mendapatkan perlakuan diskriminasi karena ayahnya seorang ODHA. Dan pria itu setuju.
Lalu ia mulai menceritakan tentang anaknya yang sangat aktif bermain dan berbicara untuk mengungkapkan keinginannya. Ia sering menitipkan anaknya kepada seorang pengasuh saat ia bekerja. Hal itu rutin dilakukannya setiap hari. Hingga akhirnya ia mendapat kabar dari polisi bahwa anaknya tewas tenggelam di kolam renang. Polisi menyimpulkan bahwa itu adalah kecelakaan. Manami tewas tenggelam saat ia mencoba bermain di sana.
Para murid mulai mendengarkan cerita itu dengan seksama. Ayah Manami yang kondisinya sudah semakin memburuk karena penyakitnya sangat menyesali kejadian itu. Begitu halnya dengan Yuko. Ia merasa bahwa dirinya adalah seorang ibu yang buruk. Sampai ia menemukan fakta-fakta bahwa anaknya tidak tewas karena kecelakaan, tapi ia telah dibunuh. Dan pelakunya adalah 2 orang dari muridnya sendiri yang ada di kelas ini.
Ia melanjutkan ceritanya. Ia memberikan inisial murid A dan murid B untuk menyamarkan para pelaku pembunuh puterinya. Para murid semakin penasaran mendengarkan cerita itu. Beberapa ada yang gelisah sendiri. Beberapa ada yang mengamati kegeisahan temannya itu. Guru itu menerangkan secara rinci profil murid A terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan murid B. Betapa mereka amat sangat pintar dan berbakat untuk mata pelajaran tertentu, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga bermasalah dengan keluarga masing-masing. Sampai akhirnya mereka berdua merencanakan umtuk membunuh putrinya.
Menurut Juvenile law Pasal 41 dari pidana, mereka yang di bawah empat belas tahun tidak bertanggung jawab atas kejahatan mereka dan tidak dapat dihukum. Mereka hanya akan masuk pantai rehabilitasi dan setelah itu mereka sudah bisa dinyatakan tidak bersalah. Yuko merasa tidak terima.
Ini adalah tugas seorang guru. Ia akan menegur muridnya jika mereka memang terbukti bersalah. Dan tahukan Anda apa yang ia telah lakukan untuk ’menegur’ mereka?
Pada saat awal susu dibagikan tadi, Yuko telah mencampurkan susu itu dengan darah ayah Manami ke dua muridnya yang ia anggap sebagai pembunuh anaknya. Darah HIV positif.
Setelah mendengar pengakuan yang mengejutkan itu, spontan saja ada dua orang murid yang langsung berlari keluar kelas untuk mencoba memuntahkan susu yang telah mereka tenggak habis itu.
Ini hanyalah 30 menit awal dari keseluruhan film yang berdurasi 106 menit. Dan ini hanyalah pengakuan dari bu guru Yuko. Selanjutnya akan ada pengakuan dari kedua orang muridnya itu. Pengakuan dari sudut pandang yang berbeda yang akan membuat film ini menjadi lebih ’adil’ dan obyektif. Pengakuan yang justru nantinya akan mengubah arah pandangan kita terhadap keseluruhan nasib tokohnya. Penasaran dengan kejutan selanjutnya? Hmmm…just watch it! Tidak hanya sekedar menonton. Anda wajib pay attention carefully untuk bisa merasakan kenikmatan jalan cerita film ini.
Secara keseluruhan, saya dapat mengatakan bahwa film ini layak mendapat sebutan masterpiece. Saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Visualisasinya cukup indah. Langit-langit yang mendung, awan yang kelabu, dan teknik dark lighting seolah menggambarkan kesedihan Yuko. Banyak adegan slow motion dengan efek visual memukau turut memperindah cerita film ini. Salah satu soundtrack ”Last Flowers” yang dibawakan Radiohead sungguh menyatu dengan karakter Yuko.
Akting para pemain sungguh brilian, terutama pemeran dua orang pelajar tersangka pembunuh Manami. Dengan karakter yang tidak sederhana dan very dark, mereka dapat dibilang sangat berhasil untuk menciptakannya. Karakter Guru Yuko sendiri juga dibawakan dengan baik oleh aktris Takako Matsu. Untuk hal penghargaan, film ini cukup menguasai festival nasional film Jepang sendiri pada tahun 2011. Memenangkan kategori best picture, best director, best screenplay, dan best editing sudah cukup memberikan kesan bahwa film ini bukan film sembarangan.
Dan jarang sekali saya menonton film tanpa beranjak sedikit pun dari kursi. Pengakuan demi pengakuan yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan membuat saya terus terpaku di kursi saya. Ide cerita film ini begitu briliant dan belum pernah saya jumpai sebelumnya. It’s just a very different way to tell a story.
Saya tidak berharap bahwa Hollywood akan me-remake nya. Biarlah film ini hanya ada satu dan ini original milik Jepang.
–HW–
Quote Choice:
Yuko: “It’s a teacher’s duty to reprimand her students when they’ve done wrong. I intend to make the two of them realise the severity of their crimes….and come to appreciate the importance of life. I want them to live, each day..bearing the weight of their crimes…”