Intermezo: “TIME” Changes Into “TEMPO” (!?)


Original Version

This is my most favorite film poster of 2011, The Ides of March (George Clooney, 2011). Hanya cukup dengan satu media poster, namun sanggup memuat dua wajah karakter yang kuat sekaligus, yakni Ryan Gosling dan George Clooney.

Melalui majalah TIME sebagai perantara,it just looks more intriguing, doesn’t it?

Bandingkan dengan poster film yang sama namun versi Indonesia (?) di bawah ini.

Versi INDONESIA

Continue reading

Films I’ve Seen in Last Two Weeks Ago: Recommended!


ini adalah list 4 film yang sempat saya lihat di tengah kesibukan saya selama 2 minggu terakhir. Check these out:)

 1. Bullhead A.K.A Rundskop (Michael R. Roskam, 2011)

Pemain:

Matthias Schoenaerts, Jeroen Perceval.

Sinopsis:

Film yang mendapatkan nominasi Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik ini bercerita tentang seorang peternak yang harus berselisih dengan partner bisnisnya dimana ia juga tidak bisa melepaskan diri dari pengalaman masa kecilnya yang mengerikan.

2. Blue valentine (Derek Cianfrance, 2010)

Pemain :

Ryan Gosling, Michele Williams.

Sinopsis:

Mengisahkan tentang realita lika-liku perjalanan sepasang suami istri yang masih belia dengan seorang putri yang masih kecil dalam mengatasi setiap konflik rumah tangganya. Diceritakan juga bahwa romansa kehidupan setelah menikah jauh berbeda kala mereka masih berpacaran dulu.
Michele Williams mendapatkan nominasi Oscar sebagai aktris pemeran utama terbaik melalui film ini.

Continue reading

I Saw The Devil: I Found Another ‘SE7EN’ From Korea


I Saw The Devil A.K.A Akmareul Boatda (Jee-Woon Kim, 2010)

Setelah beberapa lama, akhirnya saya menemukan genre film Korea yang berbeda. Terakhir kali merasa terpuaskan saat melihat film korea adalah kala menyaksikan The Host AKA Gwoemul (2006) dan Oldboy (2003). Dan itu sudah lama sekali. Sinema Korea lebih banyak menghadirkan film-film melankolis sarat air mata semacam My Sassy Girl (2001), A Millionaire’s First Love (2006), A Moment To Remember (2004), atau Love Phobia AKA Domabaem (2006), serta film-film romance dewasa, seperti The Naked Kitchen (2009) atau Changing Partners (2007). Lama-lama, saya bosan juga.

Munculnya film yang akan saya bahas kali ini menjadi pemecah kebosanan di tengah maraknya film-film Korea yang bergenre drama romantis nan melankolis. Film I Saw The Devil (ISTD) bukan bergenre horor  seperti yang termakna dalam judulnya. Maknanya lebih dalam dari itu. Genrenya lebih mengarah ke thriller, crime, dan mystery. Tidak direkomendasikan bagi anda yang tidak menyukai adegan brutal penuh kekerasan, takut darah, dan memiliki penyakit jantung. Karena film ini bakal penuh adegan sadis mengoyak darah dan memeras adrenalin. So, get ready.

Continue reading

The Most Memorable Film’s “Closing Lines” (Part 2)


Berikut adalah lanjutan artikel saya sebelumnya tentang kalimat penutup dalam sebuah film yang paling saya kenang. Enjoy it:)

1. 21 Grams (Alejandro Gonzales Inarritu, 2003)

How many lives do we live? How many times do we die? They say we all lose 21 grams… at the exact moment of our death. Everyone. And how much fits into 21 grams? How much is lost? When do we lose 21 grams? How much goes with them? How much is gained? How much is gained? Twenty-one grams. The weight of a stack of five nickels. The weight of a hummingbird. A chocolate bar. How much did 21 grams weigh?”

~Paul Rivers

2. 3 Idiots (Rajkumar Hirani, 2009)

“Baba Ranchhodas used to say rightly kids…. be self-efficeient.. self-efficient, then success will come behind you.”

~Farhan Qureshi

Continue reading

Kolaborasi Ciamik “Director-Composer” (Part 2)


5. Danny Boyle-A.R. Rahman

Rahman dan Boyle

Kolaborasi Boyle dan Rahman pertama kali terjadi melalui film revolusioner Slumdog Millionaire (2008). Lewat film yang telah memenangi 8 piala Oscar itulah nama Rahman mulai dikenal dunia. Di film itu, Rahman bahkan menjadikan dirinya orang India pertama yang berhasil meraih 2 piala Oscar melalui kategori best original score dan best original song (“Jai Ho”).

Continue reading

The Most Memorable Film’s “Closing Lines” (Part 1)


Hello Guys! Kali ini saya akan membahas mengenai dialog penutup dalam sebuah film. Setiap film maker, khususnya penulis naskah, pasti menginginkan setiap penonton untuk bisa mengingat dialog akhir dalam filmnya. Dialog penutup ini harus dibuat sesederhana mungkin namun tetap bermakna. Demikian juga dengan pilihan kata demi kata mesti disusun semenarik dan secerdas mungkin agar mudah diingat. Here is my list of the most memorable film’s closing lines in alphabet. Check these out:)))

(Diurut berdasarkan abjad judul film. Enjoy it🙂

1. Black Swan (Darren Aronofsky, 2010)

Nina Sayers:  “I was perfect…”

2.  Brothers (Jim Sheridan, 2009)

Sam Cahill: “Who was that said only the dead have seen the end of war? I have seen the end of war. The question is…how do I go on living?”

Continue reading

The Girl with The Dragon Tattoo: Another Masterpiece Thriller by Fincher


 

The Girl with The Dragon Tattoo (David Fincher, 2012)

David Fincher is back on his exhilarating thriller form. Setelah menggarap dengan dingin dua film drama The Curious Case of Benjamin Button (2008)dan The Social Network (2010),Fincher kembali ke jalur semula. Pencipta thriller berkelas semacam Se7en (1995), The Game (1997),Fight Club (1999), Panic Room (2002) dan Zodiac (2007) ini kembali meramu film serupa yang kali ini diadaptasi dari novel Swedia karangan Stieg Larsson dengan khas gayanya yang penuh misteri.

Layaknya film pendahulunya yang selalu menampilkan aktor papan atas untuk peran utamanya, kali ini Fincher memilih bintang Bond, Daniel Craig, untuk mengisi peran utama sebagai Mikael Blomkvist.

Continue reading

Zindagi Na Milegi Dobara: Fantastic Trip that Will Change a Life


 

Zindagi Na Milegi Dobara AKA (You) Won’t Get a Second Life (Zoya Akhtar, 2011)

Ada satu alasan utama mengapa saya harus melihat film ini. Tidak lain dan tidak bukan karena keterlibatan keluarga Akhtar. Bagi anda yang belum terlalu familiar dengan film India, saya akan paparkan sedikit mengenai kiprah keluarga Akhtar di industri film Bollywood.

Dimulai dari yang tersenior, Javed Akhtar. Javed merupakan seorang Indian lyricist/poet. Ia telah makan asam garam dalam menciptakan banyak lagu India yang populer. Kemudian ada anak laki-laki Javed, yaitu Farhan Akhtar. Farhan merupakan seorang multitalenta. Tidak hanya bekerja di balik layar sebagai produser, sutradara, dan penulis naskah, tapi ia juga seorang aktor yang oke. Film yang telah disutradarai Farhan selalu mendapat box office. Sebut saja Dil Chahta Hai (2001), Lakshya (2004), Don (2006), dan Don 2 (2011). Dil Chahta Hai adalah favorit saya.

Akhtar berikutnya adalah Zoya Akhtar, adik Farhan. Meski baru men-direct dua film, yaitu Luck by Chance (2009) dan Zindagi Na Milegi Dobara (2011), Zoya diprediksi bakal menyamai prestasi besar kakaknya menyusul kesuksesan dua filmnya itu. Saya sendiri belum melihat Luck by Chance, so I can’t give any comment. Sementara Zindagi Na Milegi Dobara (ZNMD) telah saya tonton dengan rasa puas. Ini yang akan saya bahas kali ini.

Continue reading

Flags of Our Fathers: Gelar Pahlawan Salah Sasaran


Flags of Our Fathers (Clint Eastwood, 2006)
Pada dasarnya, ini merupakan review film pertama saya. Kala itu saya mencoba mengikuti forum movie choice yang diadakan Jawa Pos di rubrik Movie Club. Jadilah saya menulis review film garapan Clint Eastwood ini. Dan pada tanggal 11 Januari 2008, review ini sukses di muat di koran tersebut. Koran tersebut pun masih tersimpan dengan baik di laci meja belajar. Pertama kalinya tulisan saya nampang di halaman koran nasional terkemuka itu.  Meskipun, judul di atas adalah hasil editan redaksi Jawa Pos (sudah lupa apa judul aslinya), namun tidak dengan isinya. Pada kesempatan ini akan saya rewrite my review.

Film ini berawal dari seorang juru kamera yang mengambil gambar enam prajurit Amerika. Dalam foto tersebut, mereka tampak sedang mengibarkan bendera di kepulauan Iwo Jima ketika pertempuran tentara Jepang dan Amerika berlangsung. Lalu, foto itu menjadi pemberitaan yang menghebohkan. Amerika mengklaim foto itu sebagai bukti kemenangannya.

Continue reading

Kolaborasi Ciamik “Director-Composer” (Part 1)


Apapun genre-nya, hampir semua film memerlukan sebuah musik untuk menguatkan tema ceritanya. Musik yang dimaksud di sini bukanlah suatu lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi tertentu, tapi lebih menuju ke suatu instrumen dari segala alat musik. Istilahnya adalah score.

Seperti yang saya bilang di atas, hampir semua film pasti memerlukan score. Saya katakan ‘hampir’ karena memang tidak semua film ber-score. Contohnya saja Quarantine dan seri Paranormal Activity. Tanpa score saja, film-film itu sudah cukup mengerikan bukan. Bagaimana jika ditambah score ya? Hmmm…

Well, back to the topic. Dari sejumlah film yang pernah saya tonton, saya amati ada beberapa sutradara yang tetap mengandalkan seorang composer tertentu untuk mengisi score di tiap filmnya. Dan menurut saya, it totally works and sometimes it becomes their special trademark. Ini adalah beberapa list mereka.

1. Darren Aronofsky-Clint Mansell

Sejak  film pertama Aronofsky yang berjudul π (baca: Pi) hingga Black Swan, Clint Mansell selalu menjadi komposer tetap pengisi score. Kombinasi keduanya menurut saya sangat sangat sangat sangat klop:)))). Aronofsky merupakan tipikal sutradara yang memiliki style yang berani dan berseni tinggi. Hampir semua karakter utama dalam filmnya memiliki obsesi yang kuat terhadap sesuatu hal. Karakter itu tercipta begitu kuat.

Aronofsky lebih sering menggunakan hand camera. Ia kadang mengaitkan kamera ke tubuh pemainnya supaya dapat menangkap gambar kemanapun sang tokoh bergerak (istilahnya yaitu Snorricam). Ia juga suka men-shoot tiap tokohnya melalui bagian belakang (punggung). Yang pasti, lulusan Hardvard University ini bukanlah tipe sutradara  yang menyukai ‘ketenangan’. Hampir semua filmnya selalu ‘mobile’.

Continue reading

CONFESSIONS: The Most Elegant Revenge from a Teacher


KOKUHAKU A.K.A CONFESSIONS (Tetsuya Nakashima, 2010)

Film yang akan saya review kali ini adalah sebuah film berkualitas dari Jepang. Sebelumnya, saya baru sekali terkesan dengan film Jepang. Film itu adalah Okuribito A.K.A Departures (Yojiro Takita, 2008). Alasan saya melihatnya memang karena itu adalah pemenang Academy Awards 2009 for best foreign language film. Jika ada waktu, saya akan membahasnya di sini. Nah, jika Anda lebih berpengalaman dalam menonton film Jepang yang bagus (selain 2 judul ini), let me know yah.

Kembali ke topik, film Confessions ini adalah film thriller yang berbeda dari biasanya. Jika anda melihat genre thriller sebagai film dengan adegan penuh pembunuhan, pembantaian, dan kejar-kejaran yang menegangkan dan menakutkan, tidak dengan film ini. Memang ada beberapa adegan pembunuhan, tapi itu semua ditampilkan dengan cara yang sangat slow, elegan, indah, namun sangat mengerikan. Penasaran?? Well, I’ll tell you now (but not everything;).

Film dibuka dengan setting sebuah kelas SMP yang berisi murid-murid yang sedang ramai. Beberapa sedang saling bercanda, ada yang fokus ke ponselnya, ada yang senang menjahili temannya, dan lain sebagainya. Saat itu bertepatan dengan adanya promosi susu produk nasional. Para murid pun dengan asyiknya meminum susu itu hingga habis. Dan datanglah seorang guru wanita bernama Yuko Moriguchi (diperankan dengan nyaris sempurna oleh Takako Matsu) untuk jadwal mengajar rutinnya. Para murid seakan-akan tidak menganggap bahwa gurunya itu sudah berada di hadapannya. Mereka sangat cuek dan malah tetap asyik dengan kesibukannya masing-masing. Meski demikian, Yuko tidak menampakkan raut wajah yang marah. Ia tetap tenang dan dingin.

Ia pun mulai berbicara. Suaranya yang lembut dan tidak begitu nyaring berhadapan dengan puluhan suara ramai sang murid. Ia mengatakan bahwa ia telah menyita beberapa video porno milik siswanya beserta kepingan kopiannya. Hanya beberapa siswa yang merasa melaukannya mulai menunjukkan perhatiannya, lainnya masih sama. Lalu ia juga meminta maaf pada beberapa siswanya kalau ia tidak sempat membalas email yang telah dikirimkan padanya.

Ia mulai bercerita bahwa ada seorang murid perempuan dalam kelasnya yang mengancam untuk bunuh diri karena cintanya yang ditolak, namun guru itu hanya meresponnya dingin. Ia tidak percaya akan perkataan muridnya. Bukan karena ia guru yang buruk yang tidak mempercayai muridnya sendiri, tapi lebih karena ia begitu mengenal muridnya yang terbiasa berbohong.

Guru itu terus berbicara sambil berjalan mengelilingi bangku murid-muridnya. Ia berkata bahwa ini adalah bulan terakhir ia akan mengajar. Dan pelajaran terakhir yang akan ia ajarkan adalah tentang (sambil menulis huruf kanji dengan kapur di papan tulis yang artinya) HIDUP. Bukan hanya karena ia ingin supaya para murid tidak dengan mudahnya mengatakan bahwa “saya ingin mati”, tapi ini lebih dari itu.

Ia mulai bercerita. Para murid ada yang mendengarkan, namun sebagian masih ramai sendiri. Ia mengisahkan bahwa dirinya adalah seorang ibu tunggal dari anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun, Manami. Ia memiliki anak itu sebelum menikah. Ayah dari putrinya itu adalah seorang guru seni yang cukup dikaguminya. Dan belakangan ini ia baru tahu bahwa pria itu mengidap HIV positif.

Setelah mendengar kata itu, tiba-tiba suasana kelas menjadi hening. Para murid saling berpandangan. Penasaran dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Ada diantara mereka yang sampai menahan nafas sambil menutup hidungnya. Dengan penuh kasih sayang, Yuko menjelaskan bahwa virus ini tidak menular melalui saluran pernafasan sehingga muridnya itu tidak perlu menahan nafas.

Setelah menjalani beberapa tes, Yuko dinyatakan tidak terinfeksi vrus tersebut, begitu pula anaknya. Ia mengambil keputusan untuk tidak menikahi pria itu. Ia tidak ingin kelak anaknya akan mendapatkan perlakuan diskriminasi karena ayahnya seorang ODHA. Dan pria itu setuju.

Lalu ia mulai menceritakan tentang anaknya yang sangat aktif bermain dan berbicara untuk mengungkapkan keinginannya. Ia sering menitipkan anaknya kepada seorang pengasuh saat ia bekerja. Hal itu rutin dilakukannya setiap hari. Hingga akhirnya ia mendapat kabar dari polisi bahwa anaknya tewas tenggelam di kolam renang. Polisi menyimpulkan bahwa itu adalah kecelakaan. Manami tewas tenggelam saat ia mencoba bermain di sana.

Para murid mulai mendengarkan cerita itu dengan seksama. Ayah Manami yang kondisinya sudah semakin memburuk karena penyakitnya sangat menyesali kejadian itu. Begitu halnya dengan Yuko. Ia merasa bahwa dirinya adalah seorang ibu yang buruk. Sampai ia menemukan fakta-fakta bahwa anaknya tidak tewas karena kecelakaan, tapi ia telah dibunuh. Dan pelakunya adalah 2 orang dari muridnya sendiri yang ada di kelas ini.

Ia melanjutkan ceritanya. Ia memberikan inisial murid A dan murid B untuk menyamarkan para pelaku pembunuh puterinya. Para murid semakin penasaran mendengarkan cerita itu. Beberapa ada yang gelisah sendiri. Beberapa ada yang mengamati kegeisahan temannya itu. Guru itu menerangkan secara rinci profil murid A terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan murid B. Betapa mereka amat sangat pintar dan berbakat untuk mata pelajaran tertentu, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga bermasalah dengan keluarga masing-masing. Sampai akhirnya mereka berdua merencanakan umtuk membunuh putrinya.

Menurut Juvenile law Pasal 41 dari pidana, mereka yang di bawah empat belas tahun tidak bertanggung jawab atas kejahatan mereka dan tidak dapat dihukum. Mereka hanya akan masuk pantai rehabilitasi dan setelah itu mereka sudah bisa dinyatakan tidak bersalah. Yuko merasa tidak terima.

Ini adalah tugas seorang guru. Ia akan menegur muridnya jika mereka memang terbukti bersalah. Dan tahukan Anda apa yang ia telah lakukan untuk ’menegur’ mereka?

Pada saat awal susu dibagikan tadi, Yuko telah mencampurkan susu itu dengan darah ayah Manami ke dua muridnya yang ia anggap sebagai pembunuh anaknya. Darah HIV positif.

Setelah mendengar pengakuan yang mengejutkan itu, spontan saja ada dua orang murid yang langsung berlari keluar kelas untuk mencoba memuntahkan susu yang telah mereka tenggak habis itu.

Ini hanyalah 30 menit awal dari keseluruhan film yang berdurasi 106 menit. Dan ini hanyalah pengakuan dari bu guru Yuko. Selanjutnya akan ada pengakuan dari kedua orang muridnya itu. Pengakuan dari sudut pandang yang berbeda yang akan membuat film ini menjadi lebih ’adil’ dan obyektif. Pengakuan yang justru nantinya akan mengubah arah pandangan kita terhadap keseluruhan nasib tokohnya. Penasaran dengan kejutan selanjutnya? Hmmm…just watch it! Tidak hanya sekedar menonton. Anda wajib pay attention carefully untuk bisa merasakan kenikmatan jalan cerita film ini.

Secara keseluruhan, saya dapat mengatakan bahwa film ini layak mendapat sebutan masterpiece. Saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Visualisasinya cukup indah. Langit-langit yang mendung, awan yang kelabu, dan teknik dark lighting seolah menggambarkan kesedihan Yuko. Banyak adegan slow motion dengan efek visual memukau turut memperindah cerita film ini. Salah satu soundtrack ”Last Flowers” yang dibawakan Radiohead sungguh menyatu dengan karakter Yuko.

Akting para pemain sungguh brilian, terutama pemeran dua orang pelajar tersangka pembunuh Manami. Dengan karakter yang tidak sederhana dan very dark, mereka dapat dibilang sangat berhasil untuk menciptakannya. Karakter Guru Yuko sendiri juga dibawakan dengan baik oleh aktris Takako Matsu. Untuk hal penghargaan, film ini cukup menguasai festival nasional film Jepang sendiri pada tahun 2011. Memenangkan kategori best picture, best director, best screenplay, dan best editing sudah cukup memberikan kesan bahwa film ini bukan film sembarangan.

Dan jarang sekali saya menonton film tanpa beranjak sedikit pun dari kursi. Pengakuan demi pengakuan yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan membuat saya terus terpaku di kursi saya. Ide cerita film ini begitu briliant dan belum pernah saya jumpai sebelumnya. It’s just a very different way to tell a story.

Saya tidak berharap bahwa Hollywood akan me-remake nya. Biarlah film ini hanya ada satu dan ini original milik Jepang.

–HW–

Quote Choice:

Yuko:  “It’s a teacher’s duty to reprimand her students when they’ve done wrong. I intend to make the two of them realise the severity of their crimes….and come to appreciate the importance of life. I want them to live, each day..bearing the weight of their crimes…”